Potret Siswa Belajar di Teras gegara Sekolah Kurang Ruang Kelas

Potret Siswa Belajar

Potret Siswa Belajar – Di tengah jargon pendidikan merata dan berkualitas, realitas pahit justru terpampang jelas di beberapa pelosok Indonesia. Salah satu potret paling memilukan datang dari sebuah sekolah dasar di daerah pinggiran. Siswa-siswi yang seharusnya belajar dengan nyaman di ruang kelas, justru terpaksa mengikuti pelajaran di teras bangunan sekolah. Bukan karena pilihan, tetapi karena keterpaksaan—ruang kelas yang ada tidak mencukupi, sementara jumlah siswa terus bertambah setiap tahun ajaran.

Fenomena ini bukan sekadar gambaran minor, melainkan cermin dari kelalaian sistemik yang tak pernah diselesaikan tuntas. Di saat anggaran pendidikan triliunan digelontorkan tiap tahun, masih saja ada anak-anak yang duduk di lantai semen dingin, menahan panas dan debu, hanya demi bisa menyerap ilmu.

Belajar di Bawah Bayang-Bayang Ketimpangan

Teras sekolah berubah menjadi ruang kelas darurat, tanpa papan tulis permanen, tanpa kipas angin, dan tentu saja tanpa dinding pelindung dari suara-suara luar yang mengganggu. Siswa belajar berdampingan dengan keributan aktivitas sekolah lainnya—bunyi sepatu, obrolan antar guru, bahkan sesekali suara kendaraan dari jalan di depan sekolah.

Guru pun harus ekstra keras menyampaikan materi. Suara mereka harus melawan angin, bising, dan kebisingan lainnya. Beberapa guru bahkan mengaku kehilangan suara lebih cepat karena harus berteriak agar siswa di barisan belakang tetap bisa mendengar. Di tengah keterbatasan bonus new member 100, proses belajar mengajar tetap dijalankan, meski jelas jauh dari kata ideal.

Buku Teks dan Meja yang Tak Memadai

Tidak hanya soal ruangan, fasilitas lain juga memprihatinkan. Banyak siswa tidak memiliki meja belajar pribadi. Mereka hanya mengandalkan bangku panjang atau bahkan duduk beralaskan tikar. Buku teks pun terbatas, satu buku bisa digunakan bergantian oleh dua atau tiga siswa. Dalam kondisi ini, tidak ada tempat untuk menyimpan peralatan belajar. Semua barang ditumpuk begitu saja di lantai atau di pangkuan.

Beberapa orang tua siswa menyatakan keprihatinan mendalam. Mereka menyekolahkan anak-anaknya dengan harapan besar, namun justru disambut kenyataan slot mahjong. Anak-anak mereka harus belajar dengan kondisi yang tidak hanya tidak nyaman, tapi juga rentan membuat mereka kehilangan semangat belajar.

Respons Lamban dari Pemerintah

Keluhan sudah berkali-kali disampaikan kepada dinas pendidikan situs slot resmi. Bahkan sempat viral di media sosial ketika salah satu guru membagikan foto murid-muridnya belajar di teras. Namun, seperti biasa, tanggapan hanya datang dalam bentuk janji: akan dikaji, akan diusulkan, akan dibahas dalam anggaran berikutnya. Nyatanya, ruang kelas baru tak kunjung dibangun.

Ketika ditanya, pihak dinas berdalih bahwa prioritas pembangunan harus dibagi antara banyak sekolah yang juga kekurangan fasilitas. Ironisnya, pembangunan kantor baru untuk pejabat daerah tetap berjalan megah dan lancar. Keadilan untuk pendidikan anak-anak seakan selalu menempati posisi buncit dalam skala prioritas pembangunan.

Ketabahan yang Tak Sepatutnya Diromantisasi

Sikap sabar para siswa dan guru memang patut diacungi athena168, tetapi ketabahan ini tidak boleh dirayakan sebagai hal yang wajar. Ketika anak-anak dipaksa belajar dalam keterbatasan, itu adalah kegagalan sistem, bukan kebanggaan nasionalisme. Mereka seharusnya menikmati hak pendidikan yang setara dengan siswa lain di kota-kota besar yang menikmati kelas ber-AC dan perangkat digital lengkap.

Masih banyak siswa di Indonesia yang menatap masa depan dari atas tikar, bukan dari balik bangku dan meja kelas yang layak. Di sinilah letak ironi besar negeri ini—berbicara soal revolusi pendidikan di konferensi internasional, tapi membiarkan anak-anak bangsa belajar di emperan sekolah karena ruang kelas tak tersedia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *