Sistem Belajar Hybrid Akan Jadi Standar Baru di 2025, Ini Tanggapan Guru dan Murid

Sistem Belajar Hybrid Akan Jadi Standar Baru di 2025, Ini Tanggapan Guru dan Murid

Sistem Belajar Hybrid – Bayangkan ruang kelas tanpa batasan fisik. Bukan sekadar ruang dengan papan tulis, tapi juga ruang virtual dengan koneksi internet sebagai gerbangnya. Tahun 2025 akan menjadi titik balik besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah mengumumkan bahwa sistem belajar hybrid gabungan antara pembelajaran tatap muka dan daring akan diresmikan sebagai standar nasional. Ini bukan uji coba, bukan sekadar opsi, ini adalah kewajiban.

Banyak yang menilai langkah ini sebagai revolusi pendidikan, tapi tidak sedikit juga yang menyebutnya sebagai “paksaan digital” terhadap sistem yang belum sepenuhnya siap. Dan yang paling terdampak? Tentu saja para guru dan murid.

Antara Adaptasi Tentang Sistem Belajar Hybrid

Tidak semua guru menyambut sistem hybrid ini dengan tangan terbuka. Di banyak sekolah negeri, terutama di daerah pinggiran, reaksi guru sangat kontras dengan optimisme pemerintah.

“Bagaimana kami mau hybrid kalau laptop saja tidak punya?” ujar Bu Endah, guru SMP di daerah Lampung Timur. Di sekolah tempatnya mengajar, masih ada guru yang mencatat nilai di buku tulis dan absen manual.

Meski beberapa guru muda menyambut baik inovasi ini, banyak guru senior yang merasa dipaksa keluar dari zona nyamannya. Mereka harus menguasai teknologi, mempelajari platform e-learning, membuat konten digital, hingga mengelola kelas online yang sering tidak stabil.

Baca Juga Berita Terbaik Lainnya Hanya Di smpn1batam.info

Yang paling mencolok adalah perubahan peran guru. Dulu mereka pusat ilmu, kini hanya fasilitator. Ini bukan sekadar perubahan metode, tapi perubahan identitas.

Murid: Antara Kebebasan Belajar dan Kecemasan Tak Terlihat

Dari sisi siswa, sistem hybrid terlihat menjanjikan di permukaan. Mereka bisa belajar di rumah, lebih fleksibel, lebih bebas. Tapi realitasnya tidak semudah itu.

“Kalau jaringan jelek, saya ketinggalan pelajaran. Tapi tetap dianggap tidak aktif,” kata Rani, siswi SMA di Kalimantan Barat. Banyak murid yang justru merasa semakin tertekan karena tuntutan teknologi yang tidak merata.

Bahkan, beberapa siswa merasa ‘invisible’ di kelas online. Mereka hadir, tapi tidak diperhatikan. Mereka menyimak, tapi tidak tersapa. Ruang kelas virtual ternyata tidak seintim ruang fisik. Tidak semua anak bisa menonjol lewat layar.

Dan jangan lupakan, banyak anak yang justru merasa sistem hybrid membuat mereka kehilangan waktu bersosialisasi. Sekolah bukan hanya tempat belajar, tapi juga tempat membangun relasi.

Infrastruktur Masih Jadi Masalah Klise

Mengapa sistem ini menuai pro dan kontra? Salah satu jawabannya adalah kesenjangan infrastruktur yang masih belum teratasi.

Meski pemerintah berjanji akan menyalurkan bantuan laptop, kuota internet, hingga akses platform belajar daring, fakta di lapangan berkata lain. Di banyak daerah, koneksi internet masih jadi mimpi. Bahkan listrik pun tidak stabil.

“Anak-anak kami belajar sambil ngisi daya pakai genset,” keluh seorang kepala sekolah di Nusa Tenggara Timur. Apakah wajar mereka disamakan standarnya dengan siswa di Jakarta Selatan yang punya WiFi super cepat dan perangkat canggih?

Teknologi Bisa Membebaskan, Tapi Juga Membebani

Perlu diakui, teknologi membawa banyak kemudahan. Guru bisa mengakses bahan ajar dari seluruh dunia, murid bisa belajar kapan saja, dan orang tua bisa ikut memantau perkembangan. Tapi teknologi juga membawa beban baru yang tidak semua pihak siap menanggungnya.

Platform e-learning yang kompleks, deadline yang semakin padat, dan tuntutan untuk “selalu online” membuat banyak guru dan murid merasa burnout lebih cepat.

Dan yang paling ironis? Sistem hybrid sering kali justru memperlebar kesenjangan bukan menjembatani.

Masa Transisi atau Masa Krisis?

Tahun 2025 akan jadi momen penentu. Apakah sistem hybrid benar-benar menjadi standar baru yang membebaskan pendidikan Indonesia dari keterbatasan lama? Atau justru menciptakan tantangan baru yang lebih kompleks dan tidak merata?

Guru dan murid kini berada di titik rawan: menatap masa depan yang belum sepenuhnya mereka pahami, tapi harus mereka jalani. Mau tidak mau. Siap atau tidak siap.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *